Lelakiku dan priaku

Aku menyayangi lelakiku. Aku selalu jadi kesayangannya. Ia tidak banyak berkata-kata. Tapi aku tahu ia selalu memanjakanku.

Aku juga menyayangi priaku. Ia juga tidak terlalu banyak bicara. Namun aku tahu aku selalu menjadi satu-satunya di hatinya.

Demikianlah. Aku ada di hati mereka dan mereka berdua ada di hatiku. Berdampingan.

Dan masing-masing memiliki satu hatiku yang utuh.

 

Lelakiku tahu keberadaan priaku. Dan dia tidak keberatan. Ia tahu  priaku memiliki tempatnya sendiri di hatiku.

Priaku tahu posisinya. Bahkan sebelum ia ada di hatiku, aku sudah menyayangi lelakiku.

Ia tidak keberatan sama sekali.

Priaku dan lelakiku pernah saling bertemu. Mereka memang tak banyak bicara. Tapi aku tahu mereka sama-sama memahami posisinya. Bahwa mereka berdua sama-sama menyayangiku dan sama-sama memiliki hatiku. Mereka bisa menerimanya.

 

Kali ini, waktuku memang lebih banyak dengan lelakiku. Aku pun menikmati semuanya. Dengan lelakiku di sampingku, aku takkan mengkhawatirkan apapun.

Priaku  ingin suatu hari nanti ia memiliki lebih banyak waktu bersamaku. Dia ingin aku juga bisa mengandalkannya. Seperti lelakiku menjagaku selama ini.

Aku hanya terdiam. Dalam hati aku juga menginginkannya. Tapi aku ingin semuanya benar-benar indah pada saatnya. Aku pun meminta priaku berbicara pada lelakiku.

Aku punya hati yang utuh untuk masing-masing kalian. Namun aku tak mungkin berada di dua tempat pada saat yang bersamaan..

 

Jadi, di sanalah mereka. Saling bertemu. Berbicara dari hati ke hati. Dan aku di sini memandang dua orang yang sangat kucintai. Yang menyayangiku dengan cara mereka masing-masing.

Sungguh.. aku tak bisa memilih salah satu dari kalian.

Aku menatap wajah lelakiku. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Namun matanya mengirimkan sinyal akan hadirnya gurat-gurat kesedihan. Aku tak sedetik pun melepaskan pandanganku. Dalam hati aku bertanya. Pertanyaan untuk priaku.

“Apa yang kau katakan pada lelakiku?”

Lelakiku menatapku sekilas. Menyunggingkan senyum dan ia menganggukkan kepalanya. Menyetujui segala ucapan priaku. Tetiba aku merasakan kesedihan yang teramat sangat. Kesedihan yang seakan dikirim mata lelakiku jauh ke dalam lubuk hatiku. Ada sebuah tanya dalam benakku.

Apa aku akan kehilangan lelakiku…?

***

Mereka telah bicara dan mereka membuat kesepakatan. Dan kini, di sinilah kami berada. Aku di sini, sedangkan lelakiku dan priaku di seberang sana. Mereka saling berhadapan satu sama lain. Tak lama terdengar suara lelakiku berkata dengan lantang yang ditujukan pada priaku. Dan dijawab dengan tegas oleh priaku. Sebulir air mata akhirnya menetes di pipi lelakiku. Dan tetiba hatiku terasa tersayat-sayat. Perasaanku berkecamuk. Ada sebuncah rasa sedih dan sekaligus perasaan bahagia.

Aku menyadari, sejak saat itu, aku akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama priaku. Ingin rasanya aku menghambur memeluk lelakiku. Tapi aku hanya dapat terdiam di sini. Berbicara dalam hati berharap lelakiku dapat mendengarnya. Ingin aku mengucapkan sebuah kalimat padanya.

“Walau kini aku akan lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya, aku tetap akan menyayangimu, ayah. Utuh. Satu hati. Hanya untukmu, tidak berkurang sedikitpun..

Terima kasih, ayah.. Karena telah merestui pernikahan kami.. “

DSC_2641

Sebulir air mata menetes di pipiku. Air mata bahagia.. 🙂

-selesai-

 

Tulisan ini diikutsertakan GiveAway “Tanda Kasih Buat Kamu”

Dipersembahkan khusus untuk dua orang yang saya cintai.

My lovely daddy and my lovely husband.

 

 

Catatan:

Tulisan ini juga pernah diposting di sini dan di sini.

Tenang saja, itu juga tulisan saya kok… 😀

 

Ti Amo

Jam baru menunjukkan pukul 04.30 pagi. Lelaki itu baru saja berniat mengetuk pintu kayu di hadapannya, ketika dilihatnya seorang perempuan separuh baya berjalan mendekat ke arahnya. Ia tersenyum dan bertanya dengan sopan.

“Assalamu alaikum, bu.. Adik sudah bangun?” tanyanya.

Perempuan yang baru selesai menunaikan sholat Subuh di masjid itu mengenali lelaki muda di hadapannya. Ia membalas tersenyum dan membuka pintu kayu di hadapannya. Dilihatnya sang putri sedang menunaikan sholat Subuh di rumah. Ia meminta sang lelaki untuk menunggu.

Lima menit kemudian gadis itu menemui sang pemuda. Meski bukan kali ini saja kedatangan pemuda itu di pagi hari seperti ini, tak ayal gadis itu bertanya-tanya. Kejutan apa yang akan diberikan sang pemuda padanya kali ini?

***

Namanya Resa. Lelaki tinggi kurus, sedikit introvert namun penuh dengan kejutan. Lelaki yang selalu memiliki caranya sendiri untuk membuat hidupku lebih berwarna.

Resa.

Dari bahasa Italia sorpresa, yang berarti kejutan. Sesuai dengan namanya ia selalu memiliki banyak kejutan.

Pagi ini ia datang ke rumahku. Pukul 04.30 pagi. Saat kebanyakan orang masih terlelap dan tidur dengan selimut membungkus hampir seluruh tubuhnya, Resa sudah sampai di depan pintu rumahku. Tanpa memberiku kesempatan bertanya, ia meminta izin pada ibu untuk mengajakku dan menyerahkan helm ke arahku. Setelahnya ia membawaku melintas membelah keheningan pagi hari di kota pahlawan dengan sepeda motornya. Memberikan aku kesempatan untuk menerka-nerka kemana kiranya ia akan membawaku.

Sepeda motor berhenti di sebuah stasiun. Rupanya ia akan mengajakku menaiki komuter, kereta api jarak dekat yang membawa kami dari kota Surabaya menuju Sidoarjo. Resa merogoh dua lembar dua ribu rupiah dan menyerahkannya pada petugas. Menukarnya dengan dua buah tiket komuter. Tak lama komuter sudah membawa kami dari Surabaya menuju Sidoarjo.

Ia memintaku duduk di dekat jendela. Tentunya dari sisi jendela pemandangan akan terlihat lebih jelas. Lelaki itu melepaskan jaketnya dan meletakkannya di atas pundakku, berusaha menghalau rasa dingin yang terasa menusuk kulit. Seketika rasa hangat pun menyelimutiku. Tak hanya rasa hangat yang didapat dari jaket itu, tapi juga rasa hangat yang menjalar di hatiku.

Seharusnya aku memikirkannya. Di mana-mana pagi hari selalu dingin. Tapi karena terburu, aku tak sempat membawa jaketku. Untung ada jaket Resa. Aku tersenyum. Setelahnya ia mengeluarkan kameranya DSLR-nya. Lalu memasang dan mengecek satu persatu bagian kameranya, memastikan kamera itu dapat berfungsi dengan baik. Barulah ia mulai mengambil gambar.

camera-canon-couple-cute-girl-Favim_com-139188

Ia memang menyukai fotografi. Tak perlu banyak pertanyaan, hasil tangkapan kameranya bisa dibilang nyaris mendekati sempurna. Aku selalu dibuat takjub olehnya. Seperti kali ini. Saat ia menunjukkan foto-foto dalam kamera yang berhasil diabadikannya selama perjalanan kami.

Meski aku tak banyak tahu tentang dunia fotografi aku senang mengikuti kegiatannya. Ketika ia sibuk menangkap moment melalui kamera dalam genggamannya, aku di sebelahnya sibuk menikmati moment kebersamaan bersamanya. Aku selalu suka ekspresi wajahnya saat ia melihat hasil foto yang menurutnya bagus. Senyum itu, senyum bahagianya. Senyum yang selalu melelehkan aku.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi ketika ia menuntaskan kegiatannya. Kami pun kembali pulang. Sebelumnya ia menatapku sembari tersenyum.

“Makasih ya udah nemenin aku. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku mengajakmu sepagi ini kan?” ia membuka suara.

Aku menggeleng. Dan tak lama ia menjitak sayang kepalaku.

“Ouch!” jeritku. Tentu saja aku bercanda.

“Entahlah, tetiba aku teringat padamu dan terbersit ide untuk mengajakmu jalan-jalan menggunakan komuter. Aku membayangkan suasananya pasti seru. Dan Alhamdulillah memang seru. We were enjoying the time together kan?” ucapnya.

Aku mengangguk, “dan makasih juga untuk pinjaman jaketnya,” jawabku.

Tiga hari setelahnya, ia menunjukkan hasil jepretan kameranya padaku. Sambil bercanda aku memintanya untuk mengajakku lagi jika ia hendak mengambil gambar.

Resa. Ada sesuatu yang berbeda saat aku bersamanya. Sebuah perasaan indah yang membuat hatiku berdesir saat berada di dekatnya. Ia seorang pria yang tak mudah mengucapkan kata sayang. Dan aku berharap apa yang kurasakan ini tidak hanya bertepuk sebelah tangan.

tumblr_lw9vikUFAl1qg2xooo1_500

Suatu hari ia pernah menanyakan sesuatu padaku, “sebenarnya, hubungan kita ini bagaimana?”

Aku terperanjat. Aku sudah lama menantikan ia membuka suara tentang kejelasan hubungan kami.

“Bagaimana apanya?” tanyaku.

“Iya, kita ini lho bagaimana?” ia memberikan penekanan dalam kalimatnya. Aku menarik napas panjang. Mulai memahami arah pembicaraannya. Seharusnya lebih gampang kalau kamu tak perlu bertanya seperti diskusi begini. Cukup bilang, ‘maukah kamu jadi kekasihku’, atau ‘apa kamu merasakan hal yang sama denganku.. bla.. bla.. bla..’ atau sekedar pernyataan ‘aku sayang kamu’. Batinku.

Jadi aku tak perlu jadi cenayang! Sesalku.

“Maksudnya gimana?” tanyaku. Dan Resa seperti kehabisan kata-kata. Lalu berkata padaku.

“Ya sudahlah, terserah. Yang pasti…” ia menggantung kalimatnya.

“Yang pasti apa?” kejarku.

Ia hanya menatapku dalam. Dari tatapannya aku seakan membaca sesuatu yang tersirat dari kedua matanya. Kedua mata yang mengisyaratkan bahwa ia juga mencintaiku.

Ti amo, Asmie.. Ti amo..”

Since that day, I know that I’m in love with him. My heart is belong to you, and I hope your heart is belong to me.. 🙂

-selesai-

camera-couple-love-photography-Favim_com-424508

PS: Cerita ini di(g)ubah semena-mena oleh rinibee setelah membaca cerita di sini. Nama Tony tokoh utama laki-laki sengaja dirombak habis-habisan supaya cocok dengan jalan cerita. Tokoh aku yang tidak diberi nama, disesuaikan dengan karakter aslinya. :mrgreen:

Enjoy! 😀

DUET

DUET

Buat yang udah baca #kisah kejutan versi saya di sini, mungkin ini kelihatan seperti pengulangan. Tapi kali-kali aja ada yang kurang kerjaan mau bandingin versi asli di sana sama yang udah diedit sama bintang berkisah ini.. 😀

Penasaran?

Cekidot!

***

KEJUTAN

Maria nyaris terlonjak kaget saat matanya menangkap sosok lelaki jangkung berkacamata dan berparas wajah baik-baik duduk manis di pojok kafe. Sosok itu tampak sedang menunggu seseorang setelah melalui perjanjian yang dibuat sematang-matangnya. Sejenak Maria ragu, apakah ia akan mendekat atau menghindarinya. Namun ia pun telah terlanjur membuat janji dengan seseorang di kafe itu, seseorang yang sudah sangat lama dinantikannya. Seseorang, yang kemudian mulai ia ragukan lamat-lamat jati dirinya.

Dulu, lelaki yang sedang duduk di bagian pojok kafe itu amat dikenalnya. Ah, siapa yang tak mengenal luar dalam mantan kekasih sendiri? Sandy memiliki goresan kisah menarik di hatinya. Namun itu dulu, ketika mereka belum memutuskan hubungan, menyudahi untuk bersayang-sayangan. Tepatnya, Maria lah yang meminta putus. Tanpa alasan. Tanpa belas kasihan.

Kisah cinta Maria dan Sandy telah berlangsung dua tahun lamanya. Bosan, tentu saja. Tak lagi ada kejutan yang membuat hatinya riang berbunga-bunga. Tak lagi ada sengatan gairah dalam tiap perjumpaan. Mereka terlanjur terbiasa satu sama lain, sampai-sampai tak lagi merasakan beda ketika ada ataupun tiada. Jenuh, itulah ungkapan sesungguhnya. Apalagi, saat itu Maria mulai tergoda oleh sosok lain yang lebih memacu hasratnya. Ia punya insting bahwa lelaki baru yang sedang diincarnya akan menjadi sosok yang berpotensi meruapkan kembali semangat hidupnya. Maria yang sudah bosan sekaligus merasa bersalah, memutuskan untuk memutus hubungan. Sandy, biarlah menjadi sekedar masa lalunya, mencari sendiri kebahagiaan tanpa perlu melibatkan dirinya lagi.

Sudah lama sekali mereka tak lagi saling berhubungan. Sandy memang masih berusaha beberapa kali menghubunginya. Bagaimanapun, masih ada sisa cinta dan kesetiaan di hati pria nestapa itu. Namun Maria telah merasa enggan. Pikirnya, lebih baik menyudahi setuntas-tuntasnya daripada meninggalkan sisa-sisa akar yang nantinya malah membelitnya. Pikirnya, ia tak mau memberi harapan palsu pada Sandy, yang pikirnya, tak punya harapan untuk masa depannya. Maria semakin menjauh, tanpa pernah menyadari bahwa Sandy menjadi semakin rapuh.

Waktu bergulir setapak demi setapak. Merajut dan menghabisi hubungan cinta seperti membalik telapak tangan bagi Maria, yang punya sejuta pesona. Lelaki tampan nan menawan itu telah ia dapatkan, telah pula ia campakkan. Kisah cintanya berganti-ganti, namun tak jauh berbeda, melulu menuangkan warna yang sama.

Namun yang ini, yang sekarang, agak berbeda. Seseorang yang semula ia kenal secara asal di media sosial ternyata cukup mampu membetikkan rasa penasarannya. Bahkan diam-diam, hasratnya berdesir tiap kali mereka bertukar sapa tanpa perlu kehadiran. Rasa ini jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Maria tertarik bukan karena ketampanan, bukan karena kejantanan. Ia terpesona oleh sebuah pembawaan yang tumbuh dalam imajinasinya.

Prasetya. Sedemikian sederhana nama akun yang mampu membuatnya berbunga-bunga. Sosok misterius itu hanya punya kata-kata, hanya punya pancaran semangat dan sedikit banyak keramahan yang mampu membuat kejenuhannya meleleh. Terlebih, ia sangat rendah hati meski banyak hal yang mampu membuatnya meninggikan diri. Kata-katanya adalah sumber inspirasi bagi jiwa-jiwa pencari. Karya-karyanya bahkan telah terbit berulang-ulang. Sungguh, ia sosok yang sangat layak dikagumi.

Namun satu hal yang membuat Maria teramat girang, teramat beruntung. Usahanya yang spekulatif membuahkan hasil yang menggembirakan. Posisinya bukan lagi sekedar seorang pengagum biasa. Mereka telah berteman lebih dekat, bersikap lebih akrab. Demikianlah anggapan Maria. Media-media yang lebih pribadi mulai menjadi pilihan. Surat-surat elektronik mulai kerap berbalas-balasan. Sekiranya, banyak hal yang mereka ceritakan. Mulai dari cara menulis yang baik, dukungan berimajinasi, kisah-kisah cinta, kompleksitas persahabatan, kesenjangan orang tua, masalah pendidikan, pemerintahan, hingga ternak peliharaan.

Pesan-pesan singkat pun mulai kerap berdatangan, memberi jeda pada kesibukan. Senyatanya, keintiman di antara mereka bukan tercipta dari bibit-bibit kemesuman, melainkan dari banyak tanya yang terlontar, banyak cerita yang tersiar. Diam-diam, Prasetya telah mengisi relung-relung imajinasi Maria sebagai sosok yang menerbitkan harapan cintanya. Sosok yang diharapkan mampu menggenapi jiwanya. Memang terlalu dini untuk mengatakan bahwa Maria jatuh cinta pada sosok Prasetya. Namun ia tak kuasa mangkir, bahwa perasaan kagum itu mulai sedikit berlebih. Memang, perempuan umumnya lebih mudah larut. Emosinya seperti air. Perasaannya seringkali berloncatan dan menari kesana-kemari. Maria adalah seorang matador yang gagal. Cinta dan kekaguman yang menyeruduknya hingga menjadi puing-puing berserakan.

Hingga tibalah saat pertemuan. Pada akhirnya, ide ini menuntut untuk dilontarkan. Maria setengah memaksa, setengah merayu, bahwa pertemuan itu akan menjadi sebuah peristiwa penting baginya.

“Ada hal yang sedikit kukhawatirkan, bahwa pertemuan akan membawa perubahan, atau perbedaan kedekatan kita yang sudah terjalin sedemikian manis dan tulus. Tak ada yang berani menjaminku…”  kata Prasetya melalui surat terakhirnya.

“Aku yang menjamin. Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Apa kau dapat mempercayaiku?” balas Maria melalui pesan singkatnya.

“Aku yang seharusnya bertanya, apakah aku dapat mempercayaimu?” Prasetya mengembalikan pertanyaannya.

Namun detik-detik pertemuan itu justru memaparnya pada sebuah kejadian yang sama sekali tak terduga. Bukan Prasetya, sosok dalam imajinasinya, yang duduk di tempat yang telah disepakatinya. Maria tak habis pikir mengapa Sandy, mantan kekasihnya, yang justru mewujud nyata di hadapannya. Sempat ada keraguan, bahwa kejadian itu hanya sekedar kebetulan belaka. Barangkali Sandy memang kebetulan sedang berada di kafe tersebut, dan Prasetya kebetulan sedikit terlambat. Namun beragam pembuktian melemahkan prasangkanya. Sandy, yang memakai baju dengan warna yang Maria dan Prasetya sepakati. Sandy, yang meletakkan novel terbaru bertanda-tangan Prasetya pesanan Maria di atas meja, bersebelahan dengan secangkir kopi yang telah setengah dingin. Dan Sandy pula yang melempar senyum penuh arti ke arahnya saat menyadari kedatangannya.

Mari terpaku. Kakinya terasa begitu berat, seolah tak lagi punya kendali untuk bergerak ke arah tertentu. “Oh, apa yang harus kulakukan?” batin Maria menjerit. Ia mulai merasa panik. Maria salah tingkah, juga sedikit gelisah. Sungguh tidak mudah menghadapi kenyataan yang tiada disangka-sangka. Apalagi ia terlanjur melabuhkan hati pada sosok Prasetya, sosok imajiner yang selama ini hadir memenuhi relung hati dan jiwanya.

Maria masih berputar-putar dengan pikirannya sendiri, tak menyadari bahwa Sandy berjalan mendekat ke arahnya. Ia tak kuasa menggerakkan tubuhnya — bahkan sekedar untuk tersenyum menunjukkan keramahan. Ia tak kuasa. Gugupnya luar biasa. Perasaan dan emosinya bergolak — antara merasa malu sekaligus merasa sangat bersalah. Emosinya berkecamuk. Ingatannya tentang segala hal buruk yang pernah dilakukan di masa lalu terhadap Sandy mulai menyeruak. Maria ragu, Sandy mampu memaafkannya. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa ngeri dengan kemarahan dan kekecewaan Sandy.

Sandy sudah berada tepat di hadapannya, menatapnya yang sedang diliputi kekalutan. Sesungguhnya sorot mata itu tak terlalu tajam dan bersifat garang, melainkan sayu, penuh keteduhan. Namun Maria tak kuasa menantangnya. Ia menundukkan kepalanya, seperti prajurit yang kalah sebelum mengadu senjata. Tangan Sandy lah yang menegakkannya kembali.  Jemari kokoh itu menyentuh lembut dagunya. Beberapa detik kemudian, kedua mata mantan sepasang kekasih itu sempat saling beradu. Jiwa masing-masing berusaha saling menyelami melalui pancaran cahaya di kedua bola mata yang mencerminkan riuhnya rahasia kalbu.

“Kau masih mengingatku, kan?” sapa Sandy lembut. Kemudian ia menggamit perlahan tangan Maria, mengajaknya ke kursi yang telah dipesan dan mempersilakan duduk. Sandy memanggil seorang waitress. Tanpa pikir panjang, ia memesan cappuccino kesukaan Maria.

“Jadi, ternyata kamu Prasetya?” tanya Maria hati-hati, sedikit kikuk.

Sandy tak lekas menjawab, melainkan justru melempar senyum penuh arti.  Ia cukup menyadari bahwa terselip gurat kekecewaan di hati Maria.

“Jadi itu sebabnya kau tak pernah sekalipun mengizinkanku melihat fotomu?” Maria kembali mencecarnya, namun lagi-lagi, Sandy hanya membalasnya dengan senyuman.

“Apa kau kecewa setelah mengetahui bahwa ternyata Prasetya adalah Sandy? Kini kau mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Meski kau sudah berjanji bahwa takkan ada yang berubah setelah kita bertemu, tapi aku tak berhak mengendalikan perasaanmu. Marahlah, jika kau ingin marah padaku.”  Sandy terlihat pasrah, namun sekilas intonasinya  terdengar seperti melemparkan tantangan pada Maria.

“Aku hanya….”

“Aku minta maaf karena yang kau temui adalah aku, yang tak sesuai dengan harapanmu…” potong Sandy.

“Bukan begitu. Dengarkan aku dulu…”

“Aku tahu bahwa aku hanyalah masa lalu untukmu. Yang kau harapkan adalah Prasetya, yang sedang mengisi relung-relung imajinasimu. Prasetya berhasil menarik hatimu, tapi kini kau menemukan kenyataan bahwa Prasetya adalah Sandy. Sementara Sandy adalah yang mati-matian kau hindari. Sekarang terserah padamu, dengan apa yang akan kau lakukan setelah ini. Ah, seharusnya aku tak perlu menurutimu untuk menciptakan pertemuan ini. Andai saja begitu, barangkali kita akan tetap bahagia di tempat masing-masing…” Sandy melemparkan pandangannya ke arah lain, demi mengucap hal-hal yang memedihkan hatinya.

Maria terdiam, membiarkan Sandy meluapkan segenap isi hatinya. Hal seperti itu tak pernah dilakukannya di masa lalu. Dulu, Maria yang terlampau cerewet, terlalu menuntut. Egonya menindas kepasrahan Sandy, yang lebih senang memilih bungkam.

Hingga Sandy mulai sedikit rileks, dengan hati-hati Maria mengatur diplomasi.

“Aku yang seharusnya meminta maaf, bukan kamu… Maafkan masa lalu kita… Barangkali aku memang bodoh sekaligus egois…” Sejenak Maria merasa mengambang, mencipta jeda. Ia menyadari bahwa keputusannya ada di ujung lidahnya. “Namun Prasetya ataupun Sandy, hal itu takkan mengubah sikap dan perasaanku. Bukankah aku sudah berjanji? Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Jujur saja, ketika mengetahui bahwa ternyata Prasetya adalah kamu, sebenarnya aku justru merasa lega.  Takkan kupungkiri bahwa aku mengagumi sosok Prasetya hingga sangat penasaran dan ingin menemuinya. Namun ternyata aku menemukanmu. Separuh hatiku berharap engkau telah melupakan masa lalu dan memaafkanku. Tapi sepertinya itu sulit… Aku mengerti… Maafkan aku, Sandy… Maaf telah membuat luka yang dalam di hatimu…”

Sandy terdiam. Perasaannya berkecamuk, namun ia pu tak hendak mengamuk. Bagaimanapun, ia masih mencintai Maria. Rasa cinta itulah yang membuat mati rasa sakit di hatinya. Sejujurnya, Sandy masih senantiasa berharap bahwa cinta yang menghilang itu dapat hadir kembali dan terajut dengan lebih indah. Kala menatap Maria, harapannya terbit. Sandy tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, kehilangan Maria untuk yang kesekian kali. Inisiatifnya yang menuntunnya berlutut di samping gadis itu. Tangannya meraih jemari gadis mungil itu, kemudian mendekap dan menciumnya dengan lembut.

“Aku mencintaimu Maria… Selalu begitu. Meski demikian, aku tak akan memaksamu untuk mencintaiku. Tapi aku pun tak bisa berpura-pura mengatakan bahwa aku bukan Prasetya. Aku Prasetya, sekaligus Sandy. Jika lebih baik bagimu memisahkan antara Sandy dan Prasetya, kumohon, kita hentikan saja semuanya. Itu akan membuat segalanya lebih baik untuk kita.”

Kemudian Sandy bangkit dan meraih novel yang ada di atas meja, menyerahkannya pada Maria. Sejenak ia memuaskan diri memandangi sosok Maria yang masih terpaku. Ia melihat air mata yang mengalir di pipi mantan kekasihnya. Namun Sandy tak hendak berbuat banyak. Ia memilih meninggalkan Maria yang tengah mengusap bulir-bulir bening di pelupuk mata dengan jemarinya.

Pandangan Maria beralih pada novel yang diberikan Sandy. Lamat-lamat ia membaca judul besar yang terpampang pada cover.

“Sandy..!”

Sandy menghentikan langkahnya, memberikan waktu pada Maria untuk meneruskan ucapannya. Hatinya semakin bergemuruh.

“Aku akan menerima novel ini jika kau melakukan hal yang sama…”

Sandy membalikkan tubuhnya.

“Maksudmu?”

“Ya, aku akan dengan senang hati menerima novel ini jika kau memberiku kesempatan kedua,” kata Maria lirih. Senyumnya terbit, sementara Sandy mencoba menangkap kedalaman makna di balik ucapan Maria. Seperti bisa membaca senyuman Maria, Sandy pun tersenyum bahagia, kembali menuju ke arah Maria. Lekas ia mendekap gadis mungil itu dengan pelukan hangat. Hanya lega yang tersisa di dadanya.

Ada yang berbeda di hati Maria. Perasaan indah yang membuatnya merasa sangat riang, berloncat-loncatan bak kupu-kupu di musim bunga. Perasaan yang sempat menghilang dalam dirinya, namun kini tiba-tiba hadir kembali dalam hatinya. Tak pernah terbersit sekalipun dalam pikiran, bahwa semesta akan membawanya kembali ke pelukan Sandy. Namun ia hanyalah mahluk kecil tak berdaya yang tak mampu menolak kejutan. Kejutan manis, demikian ia memaknainya dalam hati.

Maria tak ingin melepaskan Sandy, seperti halnya Sandy tak ingin melepaskan dekapannya pada Maria. Mereka tak menyadari ketika novel itu terjatuh di lantai. Novel berjudul ‘Kesempatan Kedua’ yang dipesan Maria pada Prasetya — atau Sandy.

***

Karya duet Bintang Berkisah & Rini Adhiatiningrum (@riniebee) #kisahkejutan

Editor naskah: Bintang Berkisah

Kejutan (Duet)

Kejutan (Duet)

Maria nyaris terlonjak kaget saat matanya menangkap sosok lelaki jangkung berkacamata dan berparas wajah baik-baik duduk manis di pojok kafe. Sosok itu tampak sedang menunggu seseorang setelah melalui perjanjian yang dibuat sematang-matangnya. Sejenak Maria ragu, apakah ia akan mendekat atau menghindarinya. Namun ia pun telah terlanjur membuat janji dengan seseorang di kafe itu, seseorang yang sudah sangat lama dinantikannya. Seseorang, yang kemudian mulai ia ragukan lamat-lamat jati dirinya.

Dulu, lelaki yang sedang duduk di bagian pojok kafe itu amat dikenalnya. Ah, siapa yang tak mengenal luar dalam mantan kekasih sendiri? Sandy memiliki goresan kisah menarik di hatinya. Namun itu dulu, ketika mereka belum memutuskan hubungan, menyudahi untuk bersayang-sayangan. Tepatnya, Maria lah yang meminta putus. Tanpa alasan. Tanpa belas kasihan.

Kisah cinta Maria dan Sandy telah berlangsung dua tahun lamanya. Bosan, tentu saja. Tak lagi ada kejutan yang membuat hatinya riang berbunga-bunga. Tak lagi ada sengatan gairah dalam tiap perjumpaan. Mereka terlanjut terbiasa satu sama lain, sampai-sampai tak lagi merasakan beda ketika ada ataupun tiada. Jenuh, itulah ungkapan sesungguhnya. Apalagi, saat itu Maria mulai tergoda oleh sosok lain yang lebih memacu hasratnya. Ia punya insting bahwa lelaki baru yang sedang diincarnya akan menjadi sosok yang berpotensi meruapkan kembali semangat hidupnya. Maria yang sudah bosan sekaligus merasa bersalah, memutuskan untuk memutus hubungan. Sandy, biarlah menjadi sekedar masa lalunya, mencari sendiri kebahagiaan tanpa perlu melibatkan dirinya lagi.

Sudah lama sekali mereka tak lagi saling berhubungan. Sandy memang masih berusaha beberapa kali menghubunginya. Bagaimanapun, masih ada sisa cinta dan kesetiaan di hati pria itu. Namun Maria telah merasa enggan. Pikirnya, lebih baik menyudahi setuntas-tuntasnya daripada meninggalkan sisa-sisa akar yang nantinya akan susah tercerabut. Salah-salah, ia yang akan terbelit. Pikirnya, ia tak mau memberi harapan palsu pada Sandy, yang pikirnya, tak punya harapan untuk masa depannya. Maria semakin menjauh, tanpa pernah menyadari bahwa Sandy menjadi semakin rapuh.

Waktu bergulir setapak demi setapak. Bahkan merajut dan menghabisi hubungan cinta pun seperti membalik telapak tangan bagi Maria. Lelaki tampan nan menawan itu telah ia dapatkan, telah pula ia campakkan. Kisah cintanya berganti-ganti, namun tak jauh berbeda, melulu menuangkan warna yang sama.

Namun yang ini, yang sekarang, agak berbeda. Seseorang yang semula ia kenal secara asal di media sosial ternyata cukup mampu membetikkan rasa penasarannya. Bahkan diam-diam, hasratnya berdesir tiap kali mereka bertukar sapa tanpa perlu saling hadir. Rasa ini jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Maria tertarik bukan karena ketampanan, bukan karena kejantanan. Ia terpesona oleh sebuah pembawaan yang dihadirkan dalam imajinasinya.

Prasetya. Sedemikian sederhana nama akun yang mampu membuatnya berbunga-bunga. Sosok misterius itu hanya punya kata-kata, hanya punya pancaran semangat dan sedikit banyak keramahan yang mampu membuat kejenuhannya meleleh. Terlebih, ia sangat rendah hati meski banyak hal yang mampu membuatnya meninggikan diri. Kata-katanya banyak dikutip disana-sini. Karya-karyanya bahkan telah terbit berulang-ulang. Ia sangat layak dikagumi.

Namun satu hal yang membuat Maria teramat girang, teramat beruntung. Usahanya yang spekulatif membuahkan hasil yang menyenangkan. Posisinya bukan lagi sekedar seorang pengagum biasa. Mereka telah berteman lebih dekat, bersikap lebih akrab. Demikianlah anggapan Maria. Media-media yang lebih pribadi mulai menjadi pilihan. Surat-surat elektronik mulai kerap berbalas-balasan. Sekiranya, banyak hal yang mereka ceritakan. Mulai dari cara menulis yang baik, dukungan berimajinasi, kisah-kisah cinta, kompleksitas persahabatan, kesenjangan orang tua, masalah pendidikan, pemerintahan, hingga ternak peliharaan.

Pesan-pesan singkat pun mulai banyak bertebaran, memberi jeda pada kesibukan. Senyatanya, keintiman di antara mereka bukan tercipta dari bibit-bibit kemesuman, melainkan dari banyak tanya yang terlontar, banyak cerita yang tersiar. Kendati begitu, Prasetya telah mengisi relung-relung imajinasi Maria sebagai sosok yang menerbitkan harapan cintanya. Memang terlalu dini untuk mengatakan bahwa Maria jatuh cinta pada sosok Prasetya. Namun perasaan kagum itu mulai sedikit berlebih. Perasaannya seringkali berloncatan dan menari kesana-kemari, tanpa dapat ia kendalikan.

Hingga tibalah saat pertemuan. Pada akhirnya, ide ini menuntut untuk dilontarkan. Maria setengah memaksa, setengah merayu, bahwa pertemuan itu akan menjadi peristiwa penting baginya.

“Ada hal yang sedikit kukhawatirkan, bahwa pertemuan akan membawa perubahan, atau perbedaan kedekatan kita yang sudah terjalin sedemikian manis dan tulus. Tak ada yang berani menjaminku…” kata Prasetya melalui surat terakhirnya.

“Aku yang menjamin. Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Apa kau dapat mempercayaiku?” balas Maria melalui pesan singkatnya.

“Aku yang seharusnya bertanya, apakah aku dapat mempercayaimu?” jawab Prasetya, mengembalikan pertanyaannya.

Detik-detik pertemuan itu telah memaparnya pada sebuah kejadian yang sama sekali tak diduganya. Bukan Prasetya, sosok dalam imajinasinya, yang duduk di tempat yang telah disepakatinya. Melainkan Sandy, mantan kekasihnya, yang telah ia kenal baik di masa lalunya. Sempat ada keraguan bahwa kejadian itu hanya sekedar kebetulan belaka. Barangkali Sandy memang kebetulan sedang berada di kafe tersebut, dan Prasetya belum masuk ke kafe tersebut. Namun beragam pembuktian melemahkan prasangkanya. Sandy lah yang memakai baju dengan warna yang Maria dan Prasetya sepakati. Sandy yang meletakkan novel terbaru bertanda-tangan Prasetya pesanan Maria di atas meja, bersebelahan dengan secangkir kopi yang telah setengah dingin. Dan Sandy pula melempar senyum penuh arti ke arahnya saat menyadari kedatangannya.

Maria sempat terpaku. Kakinya terasa begitu berat, seolah tak lagi punya kendali untuk bergerak ke arah tertentu. “Ah, apa yang harus kulakukan?” batin Maria, mulai merasa panik.

(bintangberkisah)

***

love-coffee

Maria merasa salah tingkah. Ia terlanjur melabuhkan hati pada sosok Prasetya. Sosok imajiner yang selama ini hadir memenuhi relung hati dan jiwanya. Ia telah berjanji, dan juga memberikan jaminan, bahwa tak akan ada yang berubah setelah pertemuan yang mereka rencanakan di kafe ini. Tapi, apakah itu termasuk jika yang datang adalah sosok Sandy dari masa lalunya?

Maria masih berputar-putar dengan pikirannya sendiri ketika Sandy berjalan mendekat ke arahnya. Gadis itu tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Juga sekedar menarik ke atas ujung bibir mungilnya, untuk membentuk senyuman. Ia tak kuasa. Keringat dingin membasahi keningnya. Ia gugup sekali. Perasaannya bercampur, antara malu sekaligus merasa sangat bersalah. Hatinya seakan teriris-iris. Selama sepersekian detik ia berharap Sandy sudah memaafkannya. Namun mengingat segala hal buruk yang pernah dilakukannya di masa lalu, ia sedikit meragukannya. Lebih mudah baginya memaafkan seseorang jika yang berbuat salah adalah orang lain. Namun memaafkan dirinya sendiri atas perbuatannya menyakiti Sandy yang telah begitu baik padanya? Bisakah? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Sandy sudah berada di hadapan Maria. Tak sedikitpun ia mengalihkan pandangan pada sosok mungil di hadapannya. Maria menundukkan kepalanya. Tak kuasa menatap mata jernih kecoklatan pria jangkung  yang berdiri di depannya. Ya, ia masih mengingatnya. Mata coklat di balik kacamata persegi itu. Tanpa diduga, Sandy mengulurkan tangannya, menyentuh lembut dagu Maria. Mata keduanya kini saling bertatapan. Sandy tersenyum padanya, dan Maria tersenyum pias.

“Maria, kau masih mengingatku?”

Gadis itu mengangguk, lirih berkata, “Sandy?”

Sandy mengangguk. Tangannya meraih lengan Maria. Menggamitnya dan mengajaknya duduk di kursi di hadapannya. Sandy memanggil seorang waitress dan memesan cappuccino kesukaan Maria. Dan setelah Maria meneguk cappuccino dalam cangkirnya, kecanggungan itupun perlahan mulai mereda.

“Jadi, Prasetya ya?” tanya Maria pada Sandy. Pertanyaan yang seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. Sandy melirik sekilas ke arah Maria yang kala itu tengah tertunduk. Entahlah. Dalam benak Sandy, seperti ada gurat kekecewaan dalam nada suaranya saat menyadari bahwa Prasetya ternyata adalah orang yang sama dengan Sandy. Maria sendiri larut dalam pikirannya. Ia tak habis mengerti, bagaimana mungkin selama ini ia tidak menyadarinya sama sekali? Tak ada satupun perbincangannya dengan Prasetya yang dapat menghubungkannya dengan sosok Sandy yang telah dikenalnya bertahun-tahun silam.

“Jadi itu sebabnya kau tak pernah sekalipun mengizinkanku melihat fotomu?” tanya Maria datar. Tak ada penekanan sama sekali dalam nada suaranya. Sandy tersenyum. Seperti sudah bisa menebak reaksi Maria jika bertemu dengannya.

“Aku sudah menduga reaksimu akan seperti ini. Aku sempat berpikir bahwa engkau telah berubah, Maria. Sebelum kita berjumpa aku sudah memperingatkanmu, bahwa aku tidak akan menjamin pertemuan ini akan menjadi mulus adanya. Aku sudah menduga sebelumnya.” Sandy berkata dengan nada sedikit meninggi. Ia tersenyum pias.

“Aku hanya….” Maria bingung dengan reaksi Sandy. Ia tidak menyangka reaksinya akan seperti ini.

“Kau tidak mengira akan berjumpa denganku, kan?! Itu pasti. Aku minta maaf, karena kali ini yang kau temui adalah aku. Hanya aku…”

“Bukan begitu. Dengarkan aku dulu.”

“Aku hanya masa lalu untukmu kan Maria? Tak lebih dari itu. Dan Prasetya? Ya itu aku. Aku pun berharap bahwa Prasetya yang lebih baik akan datang untukmu. Itu mungkin akan membuat segalanya lebih baik,” Sandy menurunkan nada suaranya.

Maria terdiam. Membiarkan Sandy meluapkan emosinya. Hal yang tak pernah dilakukannya di masa lalu. Dulu, Marialah yang lebih banyak meluapkan emosinya. Memenangkan egonya sendiri tanpa memberikan kesempatan pada Sandy untuk mengungkapkan perasaannya. Rasa sedih, kecewa atau sakit hatinya. Maria membiarkan emosi Sandy sedikit mereda, lalu perlahan mulai berkata.

“Aku yang seharusnya meminta maaf, bukan dirimu. Aku minta maaf untuk segala hal yang pernah kulakukan padamu di masa lalu. Dulu dan saat ini. Ah.. aku memang bodoh. Kupikir kau telah memaafkan aku,” Maria menghentikan ucapannya.

“Prasetya ataupun Sandy, tak mengubah perasaanku padamu. Seperti janjiku. ‘Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan’. Kau masih mengingatnya kan? Dan ketika aku menyadari yang menempati posisi Prasetya di bangku ini adalah dirimu, itu sedikit melegakanku. Jujur saja, kekagumanku pada sosok Prasetya melebihi kekagumanku pada seorang idola. Itu sebabnya aku ingin menemuinya. Dan aku menemukanmu. Separuh hatiku berharap engkau telah melupakan masa lalu dan memaafkanku. Tapi ternyata dugaanku salah. Dan aku baru menyadarinya sekarang. Luka yang kutorehkan di hatimu ternyata terlalu dalam. Maafkan aku…” Maria berkata lirih, tak kuasa menatap pria jangkung di hadapannya. Butiran bening itu pun jatuh ke pangkuannya.

Sandy terdiam. Bagaimanapun ia masih mencintai Maria. Dan rasa cintanya melebihi rasa sakit yang pernah ditorehkan gadis itu di hatinya. Tak ingin kehilangan Maria, ia berlutut di samping kanan gadis itu. Meraih jemari gadis mungil itu dan mendekatkannya pada bibirnya. Menciumnya lembut.

“Aku mencintaimu Maria. Selalu. Aku tak akan memaksamu untuk mencintaiku. Tapi aku pun tak bisa berpura-pura mengatakan bahwa aku bukan Prasetya. Aku Prasetya, sekaligus Sandy. Jika lebih baik bagimu memisahkan antara Sandy dan Prasetya, kumohon kita hentikan saja semuanya. Itu akan membuat segalanya lebih baik untuk kita.”

Sandy bangkit dan meraih novel yang ada di atas meja. Menyerahkannya pada Maria. Setelahnya ia membalikkan tubuh jangkungnya. Meninggalkan gadis itu yang tengah mengusap bulir-bulir bening di pelupuk mata dengan ujung jarinya. Pandangan Maria beralih pada novel yang diulurkan Sandy. Lamat-lamat ia membaca judul besar yang terpampang di cover novel dalam genggamannya.

“Sandy..!”

Lelaki itu menghentikan langkahnya. Memberikan waktu pada Maria untuk meneruskan ucapannya.

“Aku akan menerima novel ini jika kau melakukan hal yang sama.”

Sandy membalikkan tubuhnya.

“Maksudmu?”

“Ya, aku akan menerima novel ini jika kau memberikanku ‘kesempatan yang kedua’.” Gadis itu tersenyum penuh arti. Seperti bisa membaca maksud dalam senyuman Maria, Sandy tersenyum dan mendekap gadis mungil di hadapannya.

Ada yang berbeda di hati Maria saat ini. Perasaan indah yang membuatnya merasa sangat riang. Perasaan yang berloncat-loncatan. Seperti ada kupu-kupu yang menari-nari dalam perutnya. Ia tengah berbunga-bunga. Perasaan yang telah lama menghilang namun kini hadir kembali di dalam hatinya. Perasaan indah yang tak pernah diduganya akan dibawa kembali oleh seorang Sandy. Maria tak ingin melepaskan pelukannya, seperti halnya Sandy tak ingin melepaskan dekapannya pada Maria. Novel itu terjatuh tepat di bawah meja kafe. Novel bertandatangan Prasetya pesanan Maria. Novel dengan judul besar tertera di depannya.

“KESEMPATAN KEDUA”

S. Prasetya

(rinibee)

-selesai-

Demikianlah duet saya dengan bintang berkisah. Di bagian awal, adalah cerita yang dibuat oleh bintang berkisah, sementara saya meneruskan di bagian bawahnya. Ini masih versi saya. Kalau mau lihat dan mampir untuk membaca versi editan dari bintang berkisah, monggo lho mampir ke sini.

Terima kasih.. 🙂

Dan yang pengen juga baca-baca hasil karya @vikyarifian, @astarindah, dan @kopilovie, silakan mampir di vikyarifian, astarindah, dan kopilovie.  🙂