This one for you Bapak…


Syifa dan akungnya.. 🙂

“Siapapun akan bilang orangtua kita, adalah orangtua terhebat.”

Saya setuju sama kata-kata Titut di postingannya. Karena, saya juga merasa begitu. Setidaknya, seperti tergambar dalam hubungan antara bapak dengan saya.

Meskipun mungkin bapak saya tidak selalu bisa mengekspresikan rasa sayangnya, saya bisa merasakan kasih sayang beliau. Sewaktu masih kecil, saat saya berusia sekitar 6 atau 7 tahun, saya selalu mencuri waktu untuk bisa tidur dengan kedua orang tua saya, (maklum, saya anak paling kecil, maka saya yang lebih lama bermanja dengan bapak dan mama saya). Alasannya ketika saya tidur di tengah-tengah bapak dan mama, saya sangat menikmati saat-saat bapak saya mengelus-elus punggung saya dan memijat perlahan. Sesuatu yang sangat dikuasai bapak saya, yang tidak dimiliki mama (maksudnya bapak saya kalau mijat enak tapi mama saya kalau mijat badan malah jadi sakit semua. *eh? :D) :mrgreen:

Bapak saya adalah orang yang sangat penyabar. Apapun yang terjadi dalam keluarga kami, saya nggak pernah melihat bapak saya membanting barang untuk meluapkan emosinya. Ketika kakak saya menabrakkan motornya dalam tour Surabaya – Madura saat kakak saya duduk di bangku SMA, bapak saya tidak menunjukkan kemarahannya. Tapi beliau tetap bersabar. Juga saat motor kakak saya hilang, saat diparkir di tempat persewaan VCD. Atau saat saya menabrakkan motor di tong deket kampus saya karena saya terburu-buru (dan saya memang selalu terburu-buru :mrgreen:) :D. Yang dilakukan bapak saya hanya menanyakan keadaan kami, tidak mempermasalahkan tentang kerugian yang diakibatkan oleh kami, anak-anaknya. Beliau pun berkata dengan suara tenang.

“Yang penting kamu ngga apa-apa. Semua itu khan pembelajaran. Belajar itu memang tidak mudah.”

 

Kalimat yang dilontarkan tidak dengan penekanan tertentu. Tapi justru mampu membuat kami ‘si pelaku’ ini pun tidak bisa berkata apa-apa. 😐

Dan dari bapak sayalah, kami bertiga -saya dan kedua abang saya- belajar tentang bagaimana mengontrol emosi. Bapak saya tidak banyak bicara. Membuat kami menjadi segan pada beliau. Bukan karena takut. Tapi lebih berhati-hati menjaga perasaan beliau. Pengalaman berkutat dengan motor itu baru sebagian kecil, belum lagi masalah kakak saya yang lain. Mundur di tengah kuliah dan ganti jurusan karena baru ngerasa nggak cocok di jurusan sebelumnya. Atau masalah lain yang tidak terhitung. Saya sempat bertanya-tanya, entah bagaimana cara bapak dan mama saya untuk tetap bersabar menghadapi berbagai bentuk rupa anak-anaknya.

Sikap bapak yang tetap tenang dan tidak memojokkan membuat kakak saya itupun belajar untuk lebih fokus dan berkonsentrasi dalam kuliahnya. Terbukti kali ini, ia yang lebih banyak menyumbang kebahagiaan pada bapak mama saya di masa tua mereka. Cucu pertama darinya, membuat bapak saya menikmati masa tuanya dengan penuh kebahagiaan dan sejenak melupakan masa pensiunnya.

 

Suatu hari di masa kuliah, saya putus dengan pacar saya yang sudah berjalan sekitar 4 tahun. Bukan hal yang mudah, mengingat posisi saya sebagai perempuan. Pacaran tentunya diapelin kan? Kemana-mana dijemput di rumah. ‘Absen’nya si pacar yang jadi mantan ini tentunya mengundang pertanyaan. Kalau anak-anak perempuan lain bercerita pada mamanya dan curhat masalah pacar-pacaran, saya tidak termasuk salah satunya. Saya cenderung menyimpan rapat masalah pribadi saya. Dan entah bagaimana mulanya, dan saya juga ngga tahu mengapa bisa terjadi, malam itu, di kamar bapak mama saya, saya justru bisa bercerita pada bapak saya.
Dan beliau dengan bijaknya hanya mendengarkan saya bercerita. Tidak membuat saya merasa risih hingga di akhir cerita beliau berkata.

“Adik nyari (pacar)nya yang seperti apa?” bapak saya menggoda untuk membuat saya tersenyum. Lalu saya menjawab dan tergelak.

“Yang nggantheng..” dan kamipun tertawa bersama. Tanpa pelukan yang membuat jengah. Hanya tertawa. Tetapi saya merasa jauuh lebih baik.. 🙂

***

Saya benar-benar bisa merasakan rasa sayang bapak saya pada saya ketika calon suami saya datang ke rumah dengan keluarganya. Meminta saya menjadi istrinya. Bapak saya bertanya kepada saya, yang membuat dada saya sesak. Dari pandangan mata beliau saya menangkap sebuah perasaan sesak di dadanya yang sampai di hati saya. Perasaannya tentu sama seperti saya. Kami merasa sedih dan takut kehilangan satu sama lain. Sebuah perasaan yang sama saat akhirnya bapak saya menyerahkan tanggung jawabnya terhadap saya dan berpindah kepada suami saya.

Jika sekarang saya mengingat-ingat kembali, saya menyadari betapa besar kasih sayang bapak dan mama saya. Begitupun dengan seluruh orang tua di dunia. Pasti sangat menyayangi anak-anaknya. Kali ini, saya berbagi cerita tentang bapak saya.

Entah bagaimana caranya saya membalas kebaikan beliau berdua. Membuat beliau berdua bahagia mungkin salah satu cara yang bisa saya lakukan. Maka saya pun beberapa kali pulang di akhir bulan untuk mempertemukan Syifa dengan akung dan utinya, atas izin papanya Syifa tentu saja.. 🙂

tiga generasi

Bapak, meskipun mungkin tak pernah terucap dari bibir ini. Saya sangat menyayangimu.. 🙂

Tinggalkan komentar