Sepucuk surat (bukan) dariku


Pagi yang celaka. Aku mendapati suamiku membonceng perempuan lain tepat di depan mataku. Ia tentu tidak menyadarinya. Karena aku pun tidak sengaja memergoki mereka. Perempuan sintal yang kutaksir usianya sekitar 25 tahun. Masih muda. Daun mudakah sayaaaaaang? Tentu rasanya lebih renyah. Aku mengepalkan tangan. Geram. Sangat geram. Dengan santai sang perempuan naik ke boncengan sepeda motormu. Tempat yang hanya aku yang seharusnya boleh kau bonceng. Siapa dia? Apa dia kekasih barumu? Wajahku terasa panas. Aku benar-benar terbakar rasa cemburu.

Esoknya kau berangkat kerja dengan bersemangat. Suntikan semangat dari si lalapan-kah? Iya. Lalapan. Daun muda itu lalapan kan? Dan kuputuskan hari ini aku akan mengikutimu.

Aku melihatnya naik ke boncenganmu dan kalian melaju cepat menembus ruwetnya lalu lintas di pagi hari. Helm fullface dan motor pinjaman ini menyempurnakan penyamaranku. Kau pasti takkan mengenaliku. Dengan setia kau mengantarnya ke sana kemari, sebelum akhirnya berlalu. Ini kesempatanku untuk mengikuti perempuan berlesung pipit dan bermata bundar itu. Aku ingin melihatnya lebih dekat..

***

Pagi itu suamiku membolak-balik koran dalam genggaman tangannya. Tak lama ia bergegas masuk ke dalam kamar.

“Bu, ada yang harus aku katakan.. Sebuah kenyataan yang engkau harus siap menerimanya..” suamiku membuka pembicaraan. Di tangannya ia menggenggam sebuah amplop. Sepucuk surat yang tentu saja bukan dariku.

“Maksud ayah?”

“Iya.. ayah mau membuat sebuah pengakuan..”

“Apa ini ada hubungannya dengan berita di koran itu yah..?” Aku melirik untuk memastikan apa yang dibaca suamiku.

“Apa ayah kenal wanita itu..?”

“Iya.. dia…..” suamiku tak dapat meneruskan.

Aku panas.. aku marah.. aku terbawa emosi lalu berdiri dan berkata, “dia pasti simpanan ayah kan? Aku tahu ayah..! Aku sudah mengikutimu. Kau mengantarnya ke sana kemari.. dan kemarin kalian ke kantor pengacara. Untuk apa? Mengurus surat perceraian kita? Tak semudah itu ayah…..” aku mencecarnya untuk meluapkan segala amarahku yang sudah tak terbendung lagi, sembari membuka sepucuk surat yang diserahkan suamiku. Kuduga itu adalah surat perceraian yang harus kutandatangani.

Tapi ternyata..

 

Sebuah surat pemutusan hubungan sepihak..

 

“Apa maksudmu bu? Duduk dulu sebentar. Ayah cuma mau bilang bahwa ayah dibebastugaskan sejak 6 hari yang lalu. Itu surat PHK-nya. Tapi sejak 2 hari yang lalu ayah memutuskan menjadi tukang ojeg, dan perempuan itu pelanggan pertama ayah. Dia memberikan tips cukup banyak pada ayah asal mau mengantarnya ke kantor dan ke kantor pengacara untuk mengurus surat-surat dari perusahaan tempatnya bekerja. Perempuan itu yang menolong keluarga kita. Kenapa ibu menuduh yang tidak-tidak?” Suamiku berkata tegas namun tetap berusaha menekan emosinya. Tapi kata-katanya membuatku kaget setengah mati.

Aku merasa lututku lemas dan seperti tak bertulang. Semua yang ada di kepalaku ternyata salah. Aku menatap nanar koran di atas meja. Ya Tuhan.. apa yang sudah aku lakukan..?? Mengapa aku bisa begitu bodohnya meragukan kesetiaan suamiku..?

Aku tak dapat berkata apa-apa saat pandangan mataku jatuh pada judul besar di halaman kriminal itu..

SEORANG PEREMPUAN DITEMUKAN TERBUJUR KAKU DI GANG KECIL DEKAT KANTORNYA..
DIDUGA IA KORBAN PENYERANGAN ORANG TAK DIKENAL..

 

Aku menatap wajah suamiku. Bingung harus berkata apa jika ia sampai mengetahuinya..

Ya, akulah orang tak dikenal yang menyerang perempuan itu..

-sekian-

Hari ke 7… Masih semangattt… 🙂

#15HariNgeblogFF

32 pemikiran pada “Sepucuk surat (bukan) dariku

Tinggalkan komentar