Perempuan Dalam Boncengan Motor Hitam Suamiku


Cahaya mentari yang terik menampar wajahku. Memberikan sensasi rasa panas yang menyengat langsung pada kedua pipi dan mataku. Kupicingkan mata sembari meletakkan tangan menutupi kedua mataku, melindungi penglihatanku dari efek membutakan sementara jika aku menatap langsung pada matahari yang bersinar terik siang ini. Dalam hati aku membatin. Belum apa-apa alam seakan ingin memberiku hukumannya.

Aku berjalan dengan langkah gontai menuju sebuah bangunan kokoh. Bangunan kokoh bernomor 60. Dengan dua gerbang besar di sisi kiri dan kanannya. Dua orang pria menatap padaku dan bertanya maksud tujuanku datang ke sana. Perlahan kusodorkan harian pagi di tanganku dan salah seorang di antara mereka segera membawaku masuk. Di hadapan seorang pria dengan mesin ketik di hadapannya, aku mengakui segalanya. Semua yang telah kulakukan padanya. Aku berkata lirih dengan bibir bergetar sembari tetap berusaha menahan isak tangis yang tak dapat kutahan, meskipun kutahu bulir bening yang menetes beruntun membasahi kedua pipiku itu tak dapat menolongku sama sekali. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ya, segalanya sudah terlanjur terjadi.

Selesai mengajukan beberapa pertanyaan dan mengetiknya sebagai laporan, seorang pria tinggi tegap membawaku pergi. Aku mengikutinya dengan wajah tertunduk. Rasa bersalah, sesal dan semua kejadian tak terduga beruntun yang terjadi beberapa hari belakangan membuat segalanya terasa berat. Dadaku terasa sesak, tak menyangka semua ini bisa terjadi dalam hidupku.

***

wpid-ups.jpg

Bagaimana sebaiknya aku memulai kisah ini untukmu. Haruskah kumulai dari tiga hari yang lalu? Saat pertama kali aku dipenuhi rasa curiga yang akhirnya membuatku menggila? Atau kumulai dari dua hari yang lalu saja, ketika perlahan mulai dihantui pikiran irasional tentang kesetiaan suamiku? Ataukah justru kemarin, saat hidupku berubah 180 derajat? Ketika kekhilafan tak termaafkan itu akhirnya membawa kehancuran dalam hidupku dan juga rumah tanggaku dengan suamiku?

Baiklah, akan kucoba mengurainya satu persatu untukmu. Agar kau tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Kisah ini bermula pada tujuh hari yang lalu, ketika ia mulai menampakkan perilaku yang tidak biasanya. Suamiku.

Tujuh Hari Yang Lalu

Hari ini suamiku terlihat berbeda. “Ya, kamu sangat berbeda, sayang.. Ada apa denganmu? Apa dirimu baik-baik saja?”. Ah, seandainya saja aku memberanikan diri untuk mengatakan kalimat itu padanya di malam itu, mungkin segalanya akan berbeda. Sejak kami menikah ditambah setahun usia perkenalan kami saat memutuskan untuk serius menjalani hubungan, kalimat mesra memang tak terbiasa terdengar dari mulut kami berdua. Jangankan kalimat aku mencintaimu, sapaan ‘sayang’ pun tak pernah kudengar. Hanya kata “Dik” yang kini berganti “Bu” lah panggilan suamiku padaku. Tapi bagiku itu sudah cukup. Untuk orang sependiam dan setertutup suamiku, aku sudah merasa panggilannya padaku adalah bentuk ungkapan rasa sayangnya.

Semalam, pria yang telah kunikahi sepuluh tahun yang lalu itu pulang larut sekali, entah kemana ia sepanjang hari itu. Wajahnya terlihat kusam dan tak bergairah. Tampak lelah dan kurang bersemangat. Kutahan diriku untuk menanyakan keadaannya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk bertanya. Maka aku memilih untuk tak banyak bicara padanya, dan berusaha tetap tersenyum sembari menyuguhkan teh hangat di meja kecil di samping sofa tempat ia merebahkan dirinya, yang kemudian diteguknya perlahan tanpa bicara. Kami berdua hanya terdiam, dan aku bertanya-tanya dalam hati.

Ada apa, sayang?”

Keesokan harinya, ia tidak masuk kantor. Saat kutanyakan apakah ia sedang tidak enak badan hingga membuatnya tidak masuk kerja, suamiku hanya berkata bahwa saat ini sedang rehat. Libur dan semacamnya, dan selama itu pula aku hanya melihatnya terdiam, tak banyak bicara. Terkadang aku memergokinya sedang melamun, dan berulangkali ia menjatuhkan remote control di tangannya yang kuduga karena memang tidak berkonsentrasi penuh pada layar datar di hadapannya. Pandangannya kosong, dan kuyakin ia tidak memiliki minat sama sekali pada acara televisi yang tengah diputar di salah satu stasiun televisi swasta itu. Selama dua hari setelahnya aku melihatnya lebih banyak terdiam, tak melakukan apa-apa, hanya berbaring di kamar seharian. Selama tiga hari suamiku tidak masuk kantor. Seakan sebuah kekuatan tak terlihat merampas sebagian besar dirinya. Ia yang dulu sangat bersemangat menjalani hari, yang ceria dan murah senyum nyaris menghilang tanpa jejak.

Aku enggan mengusiknya, dan kubiarkan ia dengan kesendiriannya. Sungguh aku berada dalam dilema, di satu sisi ingin mendekatinya tapi sebagian diriku yang lain melarangku melakukannya. Dengan kebisuannya selama beberapa hari ini membuat hubungan kami berdua terasa berjarak. Ada kecanggungan di antara kami yang membuat segalanya kembali seperti sebelumnya.

Semenjak kami dijodohkan sebelas tahun yang lalu, awalnya aku memang merasa salah tingkah di dekatnya. Ingin mendekat tapi aku tak bisa. Dan dalam kecanggungan itu, suamikulah yang membuat segalanya perlahan mencair. Ia yang mendekatiku dan membuatku merasa nyaman, dengan kelembutannya dan sifatnya yang penuh kasih. Aku tak bisa memungkiri, senyum manis berhias lesung pipi di pipi kanannya membuatku tak dapat berpaling darinya. Sungguh, selama sepuluh tahun usia pernikahan kami yang diawali perjodohan itu, aku selalu merasa jatuh cinta padanya, hampir setiap hari. Namun kini, ketika priaku justru lebih banyak terdiam dan membisu, aku jadi merasa serba salah, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak terbiasa memulai untuk mendekatinya. Yang dapat kulakukan kali ini hanya berdoa dalam hati, semoga semuanya baik-baik saja.

Tiga hari kau menjauh. Tiga hari yang terasa sangat panjang, seolah aku tak mengenalmu lagi, sayang. Kau seperti bukan dirimu.

***

Empat Hari Yang Lalu

Pagi ini kamu terlihat sangat rapi. Lebih bergairah dan seperti memiliki semangat baru. Baju rapi, dandanan rapi, lalu engkau pamit dan melajukan motormu. Aku merasa ada yang aneh. Ada apa denganmu? Kamu terlihat sangat berbeda, sayang.

Entah mengapa kali ini kecurigaanku padamu sangat besar. Kuputuskan untuk mengikutimu dengan motor pinjaman milik Bu Damar. Kupinjam juga helm fullfacenya. Dari kejauhan aku melihatmu membelokkan arah motor. Alih-alih menuju ke kantormu, kamu justru melaju menuju sebuah SPBU. Mungkin mengisi bahan bakar. Lama aku menantimu, dan hampir saja kehilangan jejakmu jika saja aku tidak mengingat nomor plat motormu. B 3 ST. Namun ada yang lain dari penampilanmu kini. Kau telah mengganti bajumu dengan kaos hitam hadiah pembelian suku cadang, lalu menghentikan motormu di sudut jalan.

Seorang perempuan mendekatimu, lalu berbicara sesaat denganmu. Tak lama kemudian, ia naik ke boncengan sepeda motormu. Tempat yang hanya aku yang seharusnya boleh kau bonceng.

Siapa dia? Apa dia kekasih barumu? Wajahku terasa panas menahan jatuhnya bulir air mata ini. Aku mulai meragu. Apa janji setia yang pernah kita ikrarkan dulu telah menguap dari hati dan pikiranmu? Bulir bening itupun mengalir perlahan membasahi pipiku.

Kau dan perempuan semampai dengan kemeja biru serta rok mini hitam selutut itu melaju dengan si hitam motor kesayanganmu, tak menyadari bahwa aku mengikuti tepat di belakang kalian. Tak lama aku melihatmu menurunkannya di sebuah bangunan perkantoran. Jadi ini kantornya. Kantor pacar barumukah sayang? Kamu terlihat semakin mencurigakan.

Aku mencoba untuk bersabar. Hari ini satu bukti kudapatkan.

Esok harinya kau berangkat lagi dengan dandanan yang sama. Baju yang rapi dan celana panjang hitam yang baru saja kusetrika. Tak ada yang berbeda, dan kuputuskan untuk mengikutimu lagi. Kembali aku disuguhi pemandangan yang sama. Kulihat perempuan itu di sana, di tempat kau menjemputnya kemarin, lalu dengan motor hitammu kalian melaju menuju kantornya.

Tapi kali ini, setelah mengantarnya engkau tetap menunggunya. Tak lama kemudian, ia keluar lagi dan kalian melaju ke tempat yang berbeda. Kantor pengacara? Ada apa ini sayang? Kau semakin mencurigakan.

Sekali lagi, aku tak kuasa menahan jatuhnya bulir air mataku. Tak kuduga prahara muncul di saat kita telah mengarungi bahtera rumah tangga ini selama sepuluh tahun. Sepuluh tahun! Itu bukan waktu yang singkat sayang. Jangan katakan bahwa kini akhirnya kau menemukan cintamu. Cinta sejatimu. Sebuah perasaan indah yang mungkin tak pernah kau rasakan saat bersamaku. Apa memang tak pernah ada cinta di antara kita? Apa kau mendua dengannya karena kita dijodohkan? Ah.. aku tak bisa membayangkannya. Bahwa ada perempuan lain di hatimu. Aku tak bisa, sungguh aku tak bisa.

Selepas mengantarnya engkau pun berlalu, dan ini kesempatanku untuk mengikuti perempuan bermata bundar dengan bibir berhias gincu sewarna darah itu. Ada sesuatu yang harus kulakukan. Menyelamatkan rumah tangga kami.

Sorenya, saat pulang kembali ke rumah, suamiku terlihat sangat lelah. Entah apa yang dilakukannya seharian ini. Tanpa banyak bicara ia masuk kamar untuk membersihkan diri lalu jatuh tertidur karena kelelahan. Kesempatan bagiku untuk mengecek dompetnya demi menemukan bukti-bukti baru. Tapi tak ada yang kutemukan. Masih ada fotoku terpampang jelas di sana, bersanding dengan fotomu dan Mulan, anak tunggal kita yang kini sedang berlibur di rumah kedua orang tuaku. Aku diliputi kebingungan. Siapa sebenarnya perempuan itu sayang?

***

Pagi itu suamiku tidak bersiap untuk pergi seperti sehari sebelumnya. Aku menduga bahwa hari ini ia memang tidak berencana untuk pergi kemana pun. Ia terlihat santai duduk di sofa ruang keluarga membaca koran pagi ini. Raut wajahnya berbinar-binar, dan aku mencurigainya. Perubahan rona wajahnya ini karena kehadiran perempuan itu ataukah karena antusias dengan harian pagi di hadapannya? Dari headline yang sempat kulirik, tim sepakbola favoritnya memenangkan pertandingan. Aku mengawasinya nyaris tak berkedip, sambil mengaduk dengan kuat secangkir kopi hitam di tanganku. Siapa kiranya yang kini menjadi penghuni tetap hati suamiku? Masih tetap aku ataukah perempuan itu? Batinku bertanya.

Tiba-tiba aku melihat perubahan pada sorot matanya, menggambarkan rasa terkejut saat memandang judul besar di halaman kriminal. Wajahnya pucat pasi. Aku mendekatinya untuk menepis rasa ingin tahuku. Dan inilah kesempatan bagiku untuk bertanya dan mengorek keterangan darinya, namun sepertinya harus tertunda sesaat karena suamiku lebih dulu beranjak masuk ke dalam kamar. Kuletakkan cangkir dalam genggaman tanganku. Meletakkannya pada meja di hadapanku.

Tak lama kemudian, suamiku kembali sambil menyerahkan sebuah amplop padaku. Aku bingung, entah apa yang akan dikatakan suamiku. Kucoba menahan diri dan menunggunya untuk bicara.

13132543631869777435

“Bu, ada yang harus bapak sampaikan. Sebuah kenyataan yang semoga Ibu bisa, dan memang sepertinya Ibu harus siap menerimanya,” suamiku membuka pembicaraan.

“Maksud Ayah?” Tak dapat kupungkiri kalimat itu sungguh membuatku kaget setengah mati.

“Iya.. Ayah mau membuat sebuah pengakuan..”

“Apa ini ada hubungannya dengan berita di koran itu, Yah?” Aku melirik untuk memastikan berita apa yang sebelumnya dibaca suamiku, lalu kembali bertanya padanya.

“Apa Ayah kenal wanita itu?!” Aku menyerangnya, merasa gemas.

“Iya. Dia…” Suamiku menggantung kalimatnya.

Hatiku terasa panas, tak dapat kututupi bahwa aku merasa sangat marah. Masih diliputi emosi yang meluap-luap aku berdiri dan berkata.

“Dia pasti simpananmu kan?! Aku tahu itu! Selama dua hari ini aku membuntutimu. Kau mengantarnya ke sana kemari. Dan kemarin kalian ke kantor pengacara. Untuk apa?? Mengurus surat perceraian kita?! Tak semudah itu, Ayah!”. Penuh amarah aku mencecarnya.

“Tapi jangan khawatir. Aku sudah mengatasinya.” Aku berkata sedikit lirih, seperti berkata pada diriku sendiri.

“Ia takkan bisa mengganggu keluarga kita lagi.” Aku meneruskan berbicara, tak memberinya kesempatan mengelak. Kubuka cepat amplop yang diserahkan suamiku. Aku menduganya sebagai surat perceraian yang harus kutandatangani.

Namun ternyata itu adalah surat pemutusan hubungan sepihak.

“Apa maksudmu, Bu? Duduk dulu sebentar. Ayah cuma mau bilang bahwa Ayah dibebastugaskan sejak 6 hari yang lalu. Itu surat PHK-nya. Tapi sejak 2 hari yang lalu Ayah memutuskan menjadi tukang ojeg, dan perempuan itu pelanggan pertama Ayah. Di hari kedua ayah menjadi sopir ojeg, ia bersedia memberikan tips cukup banyak pada ayah asal mau mengantarnya ke kantor dan ke kantor pengacara untuk mengurus surat-surat dari perusahaan tempatnya bekerja. Perempuan itu yang menolong keluarga kita. Kenapa Ibu menuduh yang tidak-tidak?” Suamiku berkata tegas namun tetap berusaha menekan emosinya. Namun kata-katanya membuatku kaget setengah mati.

Aku merasa lututku lemas dan seperti tak bertulang. Semua yang ada di dalam kepalaku ternyata salah. Aku menatap nanar koran di atas meja, lalu berjalan menjauh berharap apa yang tertulis di sana tak pernah terjadi sama sekali.

Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Mengapa aku bisa begitu bodohnya meragukan kesetiaan suamiku? Masih teringat jelas dalam ingatanku, judul besar di halaman kriminal itu:

SEORANG PEREMPUAN DITEMUKAN TERBUJUR KAKU
DI GANG KECIL DEKAT KANTORNYA. DIDUGA IA KORBAN PENYERANGAN

ORANG TAK DIKENAL.

Aku duduk di sofa tepat di sebelah belahan jiwaku. Kami berdua sama-sama terdiam. Kutatap wajah suamiku, bingung harus berkata apa jika ia sampai mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Ya, akulah orang tak dikenal yang menyerang perempuan itu.

Suatu hari nanti aku berharap ia bisa mengerti alasanku melakukan ini semua, semata karena aku mencintainya. Aku ingin menyelamatkan pernikahan kami. Ya, inilah pengorbanan cintaku. Karena segala cara akan aku lakukan demi mempertahankan pernikahan kami. Kuseka bulir bening yang tak berhenti setiap kali aku mengingat perbuatanku.

Di balik terali besi aku duduk termenung. Berharap suamiku akan memaafkanku dan tetap mencintaiku untuk selamanya.

-selesai-

“Tulisan ini diikutsertakan dalam 3 Years of Blogging Giveaway yang diselenggarakan oleh Penghuni 60.

9 pemikiran pada “Perempuan Dalam Boncengan Motor Hitam Suamiku

  1. sedih, aku ingin menangis..
    sungguh beruntung mendapatkan istri yg selalu berusaha membuat utuh rumah tangganya, tp sungguh bodoh jika selalu mengandalkan emosi dlm mengambil keputusan.

    memang, seharusnya kejujuran itu perlu dipupuk dlm kehidupan berkeluarga.

    cerpennya unik, susah ditebak. karena smua persyaratan terpenuhi
    maka:

    ______________________
    “KAMU TERDAFTAR”

    makasih atas partisipasinya
    ^_^

Tinggalkan komentar