“Kurasa sebaiknya kau tidak perlu tahu tentang dia. Percayalah, kurasa betul-betul jangan.”
Jawaban menggantung Naila membuat keningku berkerut. Dasar perempuan misterius. Apa sih susahnya memberitahuku tentang sebuah kebenaran? Toh aku ini calon suaminya. Mengapa ia masih merahasiakan hal yang seharusnya kuketahui sebelum kami benar-benar melangkah ke jenjang yang lebih serius?
“Tapi Nai.. Aku perlu tahu keb…”
“Kalau kamu tetap memaksa, sebaiknya pikirkan kembali niatmu untuk menikahiku. Atau kita sudahi saja semuanya?! Aku tak meminta syarat besar darimu. Hanya saja.. Jika kau berniat serius menikahiku, maka tak perlu kau ungkit lagi tentang masa lalu dan siapa ayah kandung, Banyu!” Naila meninggikan suaranya. Sepertinya lelah dengan tekananku yang mempertanyakan tentang garis keturunan Banyu, putra semata wayangnya.
Kupandangi wajah perempuan yang kucintai dengan segenap hati. Melihat pantulan kemarahan bercampur gumpalan air mata di sudut lentiknya, aku memilih meninggalkannya.
“Aku pulang Nai. Kau tahu … Aku tetap mencint…”
“Kumohon Yud.. Tinggalkan aku sendiri.”
Tak ada pilihan lain. Aku memilih pergi.
***
Kuusap kening Banyu yang tengah terlelap. Menciuminya sayang meskipun kami berbeda seratus delapan puluh derajat baik fisik maupun jenis kelamin. Kalau boleh jujur, tak hanya Yudha yang membutuhkan kejelasan asal usul Banyu. Bahkan akupun tak bisa memastikan siapa ayah kandungnya.
Samar yang kuingat delapan tahun yang lalu. Saat aku genap berusia 16 tahun. Sesuatu yang hitam besar dan bertaring menindihku dalam tidur. Aku tak kuasa melawan. Sekujur tubuh ini mati rasa. Hanya teringat wajah bengis ayah mempersilakan tamunya menikmati tubuhku.
Dan jeritan ibu memukul-mukul dada ayah menahan tangis, “Lepaskan anakku! Dasar kau lelaki kepar***”.
Aku memejamkan mataku. Sakit teramat sangat di sekujur tubuhku. Ibu pergi selamanya. Meninggalkanku membusuk bersama lelaki yang tak pantas kusebut ayah itu.
#271 kata
Dipersembahkan untuk prompt #54 MFF
Kelamaan nggak nulis FF… Hasilnya? Kaku… 😆
mbak, menurutku kalau emang mau mengumpat, rasanya jangan setengah-setengah deh, nggak usah pake *** segala. itu jadinya nanggung banget. 😦
“Meninggalkanku membusuk bersama lelaki yang tak pantas kusebut ayah itu.”
membusuk? maksudnya udah mati trus jadi membusuk gitu? atau aku yang salah nangkep ya, mbak? hehehe
hitam besar bertaring? mahluk halus, Mbak?
wuah mbak rini. akhirnya aku baca lagi FF mu mbak. 😀
*lebay*
Wahh..sepertinya tamu si Ayah ini serupa setan ya, Mbak. Jahat..
pelakunya serem banget…. bertaring
ekspresi kebencian si anak rasanya lebih tertuju pada tamunya si ayah. terlihat dari penggambaran ‘hitam, besar, dan bertaring’. padahal dalam hal ini semestinya ‘aku’ lebih benci pada ayahnya. 🙂
banyu itu anak jin?
FF yang keren itu yang bikin penasaran para pembacanya. 🙂